Serial Pacaran Setelah Menikah : Seperti Langit dan Bumi

Cerita sebelumnya...

"Apa ada, jaman sekarang, perempuan yang mau hidup susah? Saya cuma ingin perempuan yang mau menerima saya apa adanya. Perempuan yang mau diajak hidup susah. Bukan hanya susah harta, fisik saya saja sudah seperti ini,"  jelas Rama.

Adi mengangguk prihatin. Mencoba memberikan sedikit empati yang tersisa di jiwanya yang terbiasa ditempa pahit getir kehidupan. Jika bagi Rama, sosok Adi menginspirasi dirinya karena ketekunan, keseriusan, kerja keras, optimisme, maka sebaliknya, sosok Rama justru menginspirasi Adi karena kehalusan jiwanya, sensitifitasnya, kepiawaiannya berpuisi, meski pesimisme terkadang membumbui perasaannya. 

Jika ada sosok Adi berwujud wanita, mungkin saja, 

Rama akan jatuh hati padanya. Sayangnya, temannya ini adalah seorang lelaki, dan kabar baiknya, ada seseorang yang ingin menjodohkannya dengan keponakan perempuannya. Tinggal menunggu jawaban dari Adi, sementara Adi justru meragukan dirinya sendiri, akan kemampuan fisik dan mentalnya untuk hidup bersama wanita. Sejak kuliah semester kelima, ia telah ditinggal mati ibunya. Ketika hidup, sosok ibunya yang penyayang dan sederhana, juga harus membagi kasih sayangnya ke sembilan anaknya. Adi bukan termasuk orang yang dekat dengan ibunya, karena Adi sibuk dengan perjuangannya mencari uang untuk membiayai pendidikannya. Sehingga bagi Adi, hati wanita adalah sesuatu yang penuh misteri. Yang ia tahu, wanita suka dengan harta, sementara dirinyapun masih merangkak dari nol. Kerja sambil kuliah. Sedangkan, perempuan yang akan dijodohkan dengannya, masih duduk di bangku kelas tiga SMA, seorang yang kala itu masih lugu dan polos. 

"Assalamu'alaikum," Suara salam dari balik pintu kost memecah keheningan mereka. Suara seorang perempuan.

"Wa'alaikumsalam, masuk Rif," jawab Adi, kontan membuat Rama juga terkejut

"Siapa itu, Di? temen kamu?" tanya Rama penasaran. Selama mengenal Adi, tidak ada teman perempuan yang dekat, apalagi sampai main ke kost-an mereka.

"Itu adik, baru kuliah semester 4. Sudah dua tahun kuliah. Tinggal sama keluarga mas Ari, tapi kadang-kadang kalau lagi ada kesempatan, curi-curi waktu, main ke sini. Tau sendiri kan, di rumah mas Ari, nggak ada yang namanya kebebasan. Pulang kuliah, setumpuk pekerjaan rumah menanti dan harus dirampungkan segera"jelas Adi.

Orang yang disebut Rifa tadi, masuk ke ruang tamu kost. Di situ, dia membuka diktat-dikat kuliah yang dipinjamnya dari perpustakaan. Kelihatannya sedang menyelesaikan tugas-tugas kuliah. 

"Hari ini, kamu puasa lagi?"tanya Adi padanya.

"Iya, mas. Alhamdulillah masih ada air putih buat sahur,"

Seperti biasa hari Senin - Selasa, mas Ari dan istrinya dinas keluar kota. Anak-anak mas Ari, semuanya tinggal di pesantren, sehingga hanya ada di rumah, tiap hari Sabtu Minggu. Di rumah, mereka jarang menyimpan stok makanan. Jaman itu, lemari es adalah barang mewah. Karena di kota pelajar, Rifa hanya kuliah saja, jarang, dia memiliki uang. Jikapun ada, itu adalah uang untuk biaya kuliah, yang ia terima dari kakaknya setiap semester, sebagai honornya membantu mengurus pekerjaan rumah tangga di rumah kakaknya. Sosok Rifa yang kuat membuatnya mampu menjalani kehidupan tersebut, karena baginya, yang terpenting adalah dia bisa menyelesaikan pendidikan tinggi, bisa sukses seperti kakak-kakaknya.

"Kemarin buka puasa pake apa?" tanya Adi lagi

"Air putih juga, mas, Alhamdulillah. Kalau nggak diniatin puasa, sayang juga, nggak dapet pahala, padahal sama-sama nggak makan,"

"Yah, tahu gitu, kemarin buka puasa di sini saja, mas ada nasi bungkus kemarin, bisa kita bagi dua"

Selintas kasihan menggelayuti perasaan Rama. Seprihatinnya Adi dengan membeli makan dua kali sehari, yang kadang, untuk sarapan dibagi jadi dua bagian supaya bisa makan tiga kali sehari, ternyata masih ada lagi yang lebih prihatin, yaitu adiknya. Yang hanya minum air putih untuk menopang fisiknya.

Dari balik pintu kamarnya, Rama mencoba mencari sisa-sisa makanan, bekal yang dititipkan orang tuanya sebelum berangkat kuliah. Ada beras, makanan kering untuk lauk, dan sebungkus rempeyek. Rama mencoba menyisihkan satu kilo beras, sejumput makanan kering dan sebungkus rempeyek ke dalam plastik. Secepatnya, Rama memanggil Adi.

"Ini, bawain buat adik kamu,"kata Rama.

Dari balik kamar kost, Rifa yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya, tersenyum bahagia dan berseru, "Alhamdulillah, sampaikan terima kasih saya, mas."

Itu adalah pertemuan pertama Rama dan Rifa, meski sebenarnya Rifa tidak pernah benar-benar melihat sosok Rama secara langsung. Karena Rifa memang menjaga aturan di dalam kost. Tidak diperbolehkan masuk ke kamar kost. Saat kakak dan keluarganya keluar kota, Rifa lebih memilih mampir ke kost kakak kelimanya, mas Adi, karena jaraknya lebih dekat dari kampus dibanding rumah kakaknya. Selain, di kost mas Adi, dia bisa sambil mengerjakan tugas, pertimbangan lainnya adalah karena jarak yang harus ia tempuh dengan berjalan kaki. Jarak kampus ke kost mas Adi hanya 1 km. Sedangkan jarak antara kampus ke rumah mas Ari adalah 3 km.

Beberapa kali setelah itu, ketika Adi sedang di kost, Rifa hampir setiap hari Senin - Selasa, mampir ke sana. Di kost kakaknya, Rifa benar-benar memanfaatkan waktu untuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Karena ketika kembali ke rumah mas Ari, sudah tidak ada waktu lagi baginya untuk mengerjakan pekerjaan lain selain pekerjaan rumah dan membantu usaha sampingan kakaknya.

Setahun kemudian, akhirnya Adi berhasil merampungkan kuliah S2nya. Ia bahkan mendapat rekomendasi dari guru besar di kampusnya untuk mengadakan kunjungan studi ke Jepang, selama beberapa pekan. Namun, sebelum berangkat ke Jepang, akhirnya Adi memilih untuk mengakhiri masa lajangnya, menikahi seorang yang sebelumnya hendak dijodohkan dengannya. Namanya Sri. Dan di saat yang bersamaan, Sri telah lulus SMA. 

Seseorang yang dijodohkan dengannya itu, adalah seorang yang benar-benar lugu dan polos. Anak seorang pamong desa. Ayahnya tertarik pada sosok Adi, sehingga memutuskan untuk menjodohkannya dengan anaknya, meski jarak usia mereka terpaut lima belas tahun. Sri sendiri sendiri adalah seorang bunga desa di kampungnya, namun karena proteksi dari orang tuanya, membuat Sri lebih banyak dipingit di rumahnya, dan tidak bergaul bebas dengan anak-anak seusianya di kampungnya. Sejak masuk SMA, ayahnya memang sudah berencana menikahkan Sri segera begitu lulus SMA. Dan ia ingin Sri menikah dengan lelaki yang pekerja kerasa dan berpendidikan tinggi. Persis seperti yang ada pada sosok Adi, yang pernah intens berkunjung ke desa Sri, ketika ditugaskan untuk menyelesaikan proyek dosen di desa tersebut. Adi bahkan sempat beberapa kali menginap di paviliun depan rumah ayah Sri, yang sengaja difungsikan untuk mushola kecil dan kamar untuk tamu.   

bersambung...







Komentar

Postingan Populer