Are you ready?

Setiap orang pasti pernah mengalami hal ini

Tiba-tiba kita diberikan kepercayaan, yang mana kepercayaan itu bahkan kita saja belum pernah membayangkannya, apalagi bertanya tentang seberapa besar kesiapan kita menjaga kepercayaan itu

Bentuknya bisa bermacam-macam

Ada yang diberikan kepercayaan untuk mengemban suatu tugas


Ada yang diberikan kepercayaan untuk melakukan peran baru dalam kehidupan

Ada pula yang mungkin, diberikan ujian yang tak terduga

atau 

Tiba-tiba ada surprise hadiah yang membuat kita tidak sempat untuk bertanya, apakah kita siap menerimanya?

Dan sebagai manusia, sebenarnya kita punya dua pilihan

Menerima atau menolak

Meski kemudian akhirnya tak punya pilihan. Namun kita masih punya kesempatan untuk tetap pada pilihan kita, atau mengikuti pilihan yang harus kita jalani pada akhirnya. 

Orang yang menerima bisa saja menggunakan sudut pandang, "ini adalah suatu kesempatan yang tidak boleh disia-siakan,"

Berbicara tentang kesempatan ini. Setiap orang juga pasti pernah mengalami kejadian, berhasil mengambil kesempatan yang ada di depan mata, maupun melewatkan kesempatan yang muncul sehingga akhirnya kesempatan itu benar-benar tak pernah datang lagi.

Orang yang menolak, bisa jadi menggunakan sudut pandang, "aku belum siap. belum waktunya. aku masih ingin belajar. masih ada hal lain yang harus aku selesaikan." dan sebagainya. 

Keduanya, sah-sah saja.

Berbicara tentang hal ini, belum pernah sekalipun aku menuliskan curahan hati tentang apa yang aku rasakan, ketika pertama kalinya aku mendapatkan satu kepercayaan yang sebenarnya aku merasa underestimate dengan hal tersebut. 

Sebut saja, di suatu pergantian tahun, aku diberikan amanah untuk menjadi kepala divisi, setelah sekian lama menikmati peran sebagai anggota inti/istimewa dari divisi tersebut.

Pertanyaan yang muncul, tentunya adalah...

"kenapa harus saya?"
"apa yang membuat mereka memilih saya?"
"sanggupkah saya memegang kepercayaan ini?"

Apa yang akan anda lakukan, jika anda berada pada posisi tersebut?

Sedikit gambaran, dalam seumur hidupku sebelum itu, aku belum pernah mendapat peran sebagai ketua ini, ketua itu dalam organisasi di sekolah maupun kampus. Jika merujuk pada profil kepala divisi sebelumnya, setauku mereka semua, sebelumnya sudah pernah punya pengalaman sebagai ketua ini itu semasa sekolah atau kuliahnya. Artinya, modal sebagai leader itu sudah dipupuk sejak sebelumnya.

Dan lagi, yang menjadi challenging bagiku saat itu adalah...

Ini pertama kalinya, kepala divisi tersebut dipegang oleh seorang wanita! Dengan anggota yang sebagian besar adalah laki-laki!

Pengalaman menjadi anggota organisasi yang sebagian besar terdiri dari kaum adam, atau bahkan aku menjadi kaum hawa satu-satunya, sudah pernah kujalani sebelumnya. Selama dalam organisasi tersebut, harga diri sebagai seorang wanita tetap terjaga, maka sejauh itu aku masih merasa nyaman. Sebab, di lingkungan keluarga sendiri, aku satu-satunya anak perempuan dari saudara-saudara kandung yang semuanya laki-laki. Dan kebanyakan saudara-saudara sepupu juga laki-laki. Tapi hal itu tidak menjadikanku tomboy, melainkan menjadikanku terbiasa berada di tengah-tengah kaum adam.

Satu hal yang kusyukuri saat itu adalah, ketika permintaan sebagai kepala divisi itu muncul, aku sudah menikah.

Menjadikan pernikahan sebagai excuse? Bukan!

Tapi, oleh sebab, aku berkontribusi di dunia luar juga dengan ijin dan juga dengan saran dari suami, maka itu adalah kunci pertama bagiku yang akan menentukan apakah aku akan menerima atau menolak permintaan tersebut. 

Ridho Allah ada pada ridho suami, bagi wanita yang sudah beristri. That is my principe

Dan, ternyata di luar dugaan, suamiku mengijinkan dan mendukungku. 

Ini -yang kemudian- setelah aku amati beberapa tahun kemudian, berdasarkan fakta dan pengalaman teman-teman juga di lapangan, memang ada tipikal laki-laki yang seperti ini

~mendukung apapun yang menjadi keputusan kekasih hatinya

~tidak mau menjadi penghalang bagi kekasih hatinya untuk berkembang

~membahagiakan kekasih hatinya dengan cara : membiarkannya menikmati perannya di dunia luar

Sehingga muncullah cerita-cerita yang aku dengar dari teman-teman

Suami rela menemani istrinya kuliah S3 di luar negeri, istrinya kuliah, suaminya -ekstrim- menjadi kuli di negeri orang, agar tetapi bisa memberi makan pada anak dan istrinya

Suami rela istrinya melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dari dirinya, dan membantu istrinya menghandel urusan anak dan rumah tangga selama istrinya kuliah

Aku beri jempol lima untuk tipikal laki-laki seperti ini. Luar biasa, menurutku.

Meski mungkin, untuk tipikal sebaliknya, tentu ada alasan kuat kenapa tidak melakukan hal-hal di atas. Dan pasti ada hikmahnya juga dari apa yang menjadi keputusan suami terhadap pilihan yang diambil istrinya.

Tipikal seorang istripun ada dua. Menerima apapun yang menjadi keputusan suaminya. Atau memperjuangkan apa yang menjadi 'passion'nya meskipun suami belum mengijinkannya. 

Inti dari cerita ini lagi-lagi tentang bahwa antara kita dan suami kita, memang sudah ada keterikatan dan ketergantungan yang akan saling mempengaruhi satu sama lain. Termasuk dalam urusan kesiapan kita menerima sebuah kepercayaan baru dalam kehidupan kita, maka pintu pertamanya, menurutku adalah ijin dari suami, sebelum yang lain.  


Komentar

Postingan Populer