Perpisahan


Sisa-sisa mendung masih menggantung, membentuk gumpalan awan abu-abu di seberang cakrawala. Ombak selat sunda menggapai pantai pelan...dan tenang. Bersama suami tercinta, menggendong Di sambil berfoto dengan latar pantai Pasir Putih menjelang petang. Dan para sahabat yang juga sedang asik menikmati pantai yang tenang sore itu. Santap sore yang sudah disiapkan kawan senior kami yang shalihah, sudah memenuhi sebuah ruang dalam perut kami. Alhamdulillah. Gulai sapi, sambel pete, dan ikan bumbu kuning...mmm...Yang sekaligus menitipkan pesan bahwa setelah pernikahan, potensi terpendam bisa saja mencuat hebat. Buktinya, mba senior kami yang sebelum menikah sama sekali tidak hobi urusan dapur, sudah cukup membuatku geleng-geleng kepala dengan menu masakan yang tidak biasa tapi luar biasa rasanya...Alhamdulillah.
Perjalanan kami menuju ke pantai penuh dengan bahasa "kalau, seandainya..." atau istilah kerennya, kita telah menyiapkan sejumlah rencana, plan A, plan B, plan C, berhubung hari itu mendung. Meski semangat pertama adalah..kita bisa berkumpul bersama di pantai. Untuk kami-kami yang super sibuk, dan susah mencocokkan waktu untuk bisa berkumpul, momen-momen seperti ini amat sangat berharga...bisa terjadi satu tahun sekali saja sudah sangat bersyukur.
Perjalanan lima belas menit menuju pantai, masih diiringi hujan rintik-rintik. Sehingga kami siap berlapang dada menuju plan B. Akan tetapi, di tengah perjalanan, hujan berhenti, dan seperti tidak ada tanda-tanda akan turun lagi, meski mendung masih menggelayuti...sehingga akhirnya, sore itu, dalam sisa-sisa waktu menuju petang, kami putuskan untuk kembali ke rencana awal kami. ke PANTAI...
Sebuah saung kecil tempat kami berteduh walau tak ada hujan tak ada panas. Memayungi kami yang asik bersantap, usai acara 'tukar kado'.
Sesekali melayangkan pandang ke arah para suami yang asik bermain pasir bersama anak-anak kami.
Waktu demikian cepat berlalu. Satu setengah tahun, seperti satu setengah hari kemarin kami lalui. Sepertinya, belum genap hati ini saling bertaut dalam kebersamaan, perpisahan sudah mencegat kami. Seperti memaksa kami untuk segera berlapang dada dan bersiap dengan ujian persahabatan. Berupa sebentuk kesetiaan di kala raga kami tak lagi bisa bersama berlama-lama. Bahkan mungkin, di tempat lain kami sudah saling menemukan sahabat baru yang mungkin lebih siap untuk ada di kala membutuhkan. Maka, kesetiaan kami diuji. Meski kami belum lulus tahapan materi persahabatan, sedang hati belum sepenuhnya telah saling mengisi.
Petang tiba, selepas sholat Maghrib, kami kembali pulang. Duduk bersama dalam satu angkot. Aku sendiri tak percaya setelah kami pulang ke rumah masing-masing, kami tak lagi dapat merasakan momen kebersamaan seperti ini lagi. Para sahabat juga larut dalam pikiran masing-masing. Ada sedih, namun secercah harapan yang lebih besar mengobati luka karena perpisahan. Harapan untuk menjadi lebih baik lagi, harapan untuk menjadi lebih dekat lagi, harapan untuk memperlebar sayap ilmu dan kasih sayang kami.
Bulan purnama bulat menyembul di balik gunung. Tersenyum dalam keheningan. Seandainya tabir hati kami tersingkap, mungkin kami semua bercucuran air mata saat itu. Tapi kami malu pada bulan, makhluk Allah swt juga...yang tetap membuka kelopaknya...bersinar terang, sedang menampakkan gerhananya.

Komentar

Ummi Dihaan&Dhiya mengatakan…
Untuk kalian yang dipersaudarikan denganku di jalan Allah...tetap semangat ^_^

Postingan Populer