Rizki Tak Terduga : Apakah itu Hak Kami?

Jumat sore yang cerah, dengan penuh semangat Ummi dan Abi bersiap menuju minimarket yang menyediakan fasilitas ATM penarikan tunai. Minimarket tersebut jaraknya lebih dari 8 km dari tempat tinggal kami. Masih lebih dekat dibandingkan bank yang mencapai 20 km dari situ. Hari ini, sudah lewat dua hari dari tanggal satu. Karenanya, kami punya tanggungan untuk membayarkan honor khadimat kami bulan ini. Ditambah lagi, kebutuhan bulanan yang belum dibelanjakan.
Singkat cerita, Ummi dan Abi dikejutkan dengan beberapa hal yang terjadi di minimarket tersebut.
Pertama, kami melakukan tarik tunai, sejumlah yang kami butuhkan dalam sebulan. Meski dengan spekulasi, karena Ummi tidak mengecek terlebih dahulu saldo yang ada, tapi langsung ketik angka nominal yang akan diambil. Ada sedikit ragu menyelinap, harap-harap cemas, apakah mesin ATM akan menjawab, “Maaf, saldo anda tidak cukup untuk pengambilan sejumlah tersebut,” namun keraguan hilang ketika lembaran kertas limapuluhribuan keluar dari mesin. Bersamaan dengan itu, kami dikejutkan dengan listrik yang tiba-tiba padam. Tapi Alhamdulillah, uang telah keluar dan kartu ATM kami otomatis keluar walaupun belum selesai transaksi. Hanya saja, struk bukti yang menunjukkan sisa saldo yang tersedia pada rekening tidak tercetak, sehingga memancing rasa penasaran kami. Entah mengapa, sore itu begitu penasaran ingin mengecek sisa saldo. Padahal, rekening abi yang dipakai untuk kebutuhan bulanan, hanya berisi rupiah yang pasti akan habis untuk mencukupi kebutuhan bulanan, bahkan kurang, sehingga harus mengambil sedikit dari rekening ummi. Kami berdua adalah para karyawan yang setiap bulan menerima gaji, namun kami berkomitmen, bahwa rekening abi untuk kebutuhan bulanan, sedang rekening ummi untuk menabung. Akan tetapi, sudah beberapa bulan ini, kami harus membayar tagihan bulanan pembelian tanah, sehingga dua pertiga dari penghasilan abi terpotong secara autodebet dari rekening. Itupun, baru separuh tagihan yang terbayarkan selama kurang dari setahun. Sementara, penghasilan ummi juga dipakai untuk menggenapkan separuh tagihan tersebut. Sehingga insya Allah dalam waktu kurang dari setahun, kami sanggup melunasi total tagihan tersebut.
Walhasil, sepertiga penghasilan abi yang tersisa di rekening, benar-benar limit untuk mencukupi kebutuhan bulanan kami. Tapi kami tetap memiliki komitmen yang lain, yaitu usahakan tidak berhutang untuk kebutuhan bulanan kami. Sehingga, hidup prihatinlah yang kami pilih untuk sementara waktu.
Akan tetapi, sore itu, sepertinya Ummi begitu penasaran untuk mengetahui, berapa saldo yang tersisa di rekening, karena ketika Ummi ambil dalam jumlah yang lebih besar dari biasanya, mesin ATM tidak menolak untuk mengeluarkan rupiah.
Usai belanja, kami kembali mendekati mesin ATM. Kali ini, seperti sebuah permainan, Ummi coba mengambil lagi, tentunya dengan kelapangan hati jika tidak ada rupiah yang keluar, tapi…ternyata, rupiah juga yang keluar. Beserta struk tentunya. Yang ditunggu-tungggu, sekaligus membuat kami terkejut untuk kedua kalinya.
Saldo yang ada masih sama dengan sejumlah rupiah yang kami ambil. Itu artinya… Apakah system penggajian belum melakukan pemotongan terhadap tagihan bulanan kami? Tapi kenapa separuh dari yang kami ambil, bukannya dua kali lipatnya, mengingat jumlah tagihan kami dua pertiga dari yang tersisa?
Apakah penghasilan abi bulan ini turun sangat drastis, dan bagaimana jika memang belum dipotong dan kami harus membayarkan tagihan tersebut dengan uang cash. Berapa uang cash tersisa untuk kebutuhan bulan ini? Hanya cukup untuk menggaji khadimat dan membayar asuransi. Selebihnya dari mana?
Akhirnya kami pulang dengan hati bertanya-tanya. Dengan niat, bahwa besok kami harus menghadap staff penggajian untuk menanyakan perihal masalah kami.
Esok paginya, menjelang Dzuhur, kami menemui staff penggajian di yayasan kami. Sampai berkali-kali ia menegaskan, bahwa system sudah melakukan pemotongan gaji secara otomatis untuk membayar tagihan bulan ini. Artinya… angka saldo yang tersisa di rekening adalah uang yang entah dari mana datangnya.
Kami bertanya-tanya. Jika bukan karena kehati-hatian terhadap hak yang boleh kami terima, tentu kami sudah bersuka cita tanpa perlu mempertanyakan dari mana datangnya rupiah itu.
Sepertinya kami memang perlu memastikan ke bank. Mencetak buku rekening dan kalau perlu, bertanya pada customer service perihal sumber datangnya uang tersebut. Semoga saja itu memang hak kami.

Komentar

Postingan Populer