Kampung Kelahiran Abi yang Bersahaja

Terhitung sudah 4 kali sejak pernikahan kami, ummi berkunjung ke sana. Tentunya dengan adaptasi yang luar biasa, sehingga sampai sekarang, belum juga tamat kepahaman ummi tentang kondisi mereka, meski kami sama-sama orang Jawa. Subhanallah.
QS Al Hujuraat 13 "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Memang kami berasal dari bumi Jawa yang bertolak, ummi dari Jawa Tengah mepet perbatasan dengan Jawa Barat, sementara abi dari Jawa Tengah mepet perbatasan dengan Jawa Timur. Kadang kala kalo harus mendeskripsikan keadaan keluarga abi pada keluarga ummi, ummi bilang, ya… seperti orang Jawa jaman dulu. Karena dengan begitu mereka baru akan tergambar, sawah yang luas, ladang, tegal, ingon sapi, kerbau, kambing, ayam, tidur beralas tikar di atas tanah, para ibu sibuk memasak di pawon, ikatan antar keluarga dan tetangga yang masih erat, dsb. Sedikit tentang keadaan mereka, yang menurut keluarga ummi, hal itu terjadi pada masa lampau, pada masa-masa kecilnya Bapak Ibu Ummi. Keadaan kami saat ini sudah jauh berbeda. Di kota kelahiran ummi saja, bisa dihitung rumah yang belum berkeramik atau minimal bersemen, sudah sedikit lahan sawah yang digarap, berubah menjadi gedung rumah, perkantoran dan rumah sakit, halaman rumahpun menjadi lebih sempit, rumah-rumah padat penduduk, ikatan antar keluarga dan tetangga tak lagi seerat dulu, bahkan kalo abi berkomentar tentang kondisi kota kelahiran ummi, “kaya di Jakarta aja ni kampong, individual.”
Terbayang betapa jauhnya perbedaan antara keadaan keluarga ummi dan abi. Bahkan hampir perbedaan itu diibaratkan oleh perbedaan jaman. Keadaan keluarga abi, yang dalam persepsi keluarga ummi, seperti orang Jawa jaman dulu, nyatanya ada pada masa sekarang. Real, dan bukan berarti pula bahwa mereka, sangat kolot, tradisional dan ketinggalan jaman.
Kaidah umum di kalangan mereka –keluarga abi-, adalah seorang wanita memiliki kewajiban melayani kebutuhan suami, sehingga tidak heran jika hampir setiap hari mereka mendatangi dapur mereka yang bentuknyapun, sebagian besar masih berupa pawon. Pawon adalah sebentuk kompor bikinan dari tanah atau batu bata, berbentuk kotak memanjang, berlubang dua di atas untuk tempat menaruh wajan, panic dan alat masak lainnya, dan berlubang satu di depan untuk tempat kayu bakar.
Sementara itu, seorang laki-laki memiliki kewajiban mencari nafkah. Sebagian memilih menggarap sawah milik mereka atau milik orang lain, sebagian memilih profesi lain seperti penjahit, kontraktor, dll. Tapi hampir sebagian besar mereka memiliki sawah sebagai tabungan, serta tetap meluangkan waktu untuk menengok sawah-sawah mereka, meski profesinya di luar itu. Selain sawah, tabungan yang tak kalah mereka upayakan adalah hewan ternak, seperti sapi, kambing, ayam, bebek. Hampir setiap rumah memiliki ayam, walaupun tidak diternak dalam skala besar. Ayam-ayam itu, suatu kelak akan mereka jual ketika mereka membutuhkan uang, sebagian lagi disembelih untuk hidangan hari raya.
Maka yang paling senang ketika pulang ke kampung kelahiran abi adalah Di. Di sangat menikmati hari-hari melihat hewan ternak yang – tentu saja- sangat jarang ditemukan di NF. Alias Di hanya bisa melihat mereka lewat gambar. “Ini gambar ayam, ini sapi, ini kambing, ini bebek.” Tapi rupanya begitu menemukan aslinya, semakin bertambah kesenangannya. Memberi makan ayam, bermain di tengah-tengah ayam, melihat sapi dan kambing dari dekat, dsb. Sampe-sampe, Di hafal, di rumah yang mana di kampong abi, yang memelihara sapi dan kambing. Kalo Di bosan main di rumah Mbah Biyung, tangannya langsung menunjuk-nunjuk kearah rumah yang penghuninya memelihara sapi dan kambing. Selain hewan ternak, pekarangan yang luas di sekitar rumah mereka juga cukup rimbun dengan bermacam-macam pepohonan. Ada rambutan, talok atau cerry, mangga, apel hutan, pisang, kelapa, duren, coklat, atau sekedar tanaman sayur-sayuran, ceme atau oyong, terong, bayam, singkong dsb.
Liburan kemarin di sana sedang musim aceh atau rambutan. Subhanallah seperti berada di syurga, ummi tinggal pilih aceh yang mana, dan ummi tinggal meraihnya dengan tangan. Petik langsung dari pohonnya. Sembari duduk-duduk santai di teras depan, sesekali menikmati aceh langsung dari pohonnya. Mbah Kakung cerita, sebelum musim aceh, di sana musim mangga, dan mereka panen cukup banyak. Hasil panen pohon-pohon buah, terkadang mereka jual ke pasar ketika mereka membutuhkan uang, terkadang juga mereka nikmati sendiri bersama keluarga besar. Begitulah cara mereka bertahan hidup, nrimo. Ketika mereka kepepet butuh uang, mereka akan menggunakan daya upaya memanfaatkan hasil kebun, sawah, ternak atau tenaga mereka.

Komentar

Postingan Populer