Harga Ilmu

Pada jaman sekarang, kita sering mendengar istilah ada harga ada kualitas. Semakin tinggi nilai suatu barang atau benda, maka ia semakin awet atau semakin lama usianya. Bagaimana dengan sebuah ilmu? Para perawi hadist pada masa silam, harus menempuh perjalanan yang tak dekat, tak sebentar, dan tak sedikit resikonya, untuk mengejar hadist yang mungkin hanya satu patah dua patah kalimat. Hadist tersebut menjadi tinggi nilainya sebanding dengan pengorbanan yang harus dikeluarkan.
Bagaimana dengan hari ini?
Kita menemukan banyak ilmu bertebaran di sekitar kita… ibaratnya kita berada di sebuah pasar pakaian yang menjual banyak produk tekstil. Maka kita mungkin merasa sulit atau bahkan ‘tidak ada minat lagi’ melihat begitu banyaknya pakaian yang terjaja. Apalagi jika banyak di antara toko menjual pakaian yang sama. Maka kita sebagai pembeli benar-benar seperti raja yang bebas menentukan harga yang kita inginkan untuk sebuah pakaian yang kita inginkan.
Bagaimana dengan ilmu yang bertebaran di sekitar kita?
Sehingga kita sering kali lupa untuk menghargai ilmu dengan harga yang tinggi. Pengorbanan yang hanya berupa, menuliskan ilmu, atau membaca ilmu, pun rasanya sulit kita lakukan. Kita hanya menggunakan ala kadarnya kemampuan otak kita menangkap dan mencerna. Padahal ilmu itu juga memiliki karakter mudah lepas dari penjagaan seseorang yang tidak pandai menjaganya.
Banyak ulama besar yang menjaga ilmu dengan mengikatnya dalam bentuk tulisan. Seorang Imam Syafi’ie yang hafidz pada usia 9 tahun dan menjadi imam masjidil haram pada usia 15 tahun – yang menjadi imam masjidil haram saja tidak mudah, harus hafidz dan paham beberapa ilmu yang lain – beliau tak pernah melewatkan saat untuk mengikat ilmu di mana saja ia berada. Sehinggga di manapun ia menemukan benda yang dapat ia gunakan untuk menulis, maka ia akan menuliskan ilmu yang ia temui. Pada tulang, pada lembaran daun, pada batu, dan sebagainya ia menuliskan setiap ilmu yang ia temui. Arsip-arsip alam yang menyimpan ilmu itu juga tak serta merta ia buang setelah ia masukkan dalam otak, tapi ia simpan di dalam rumahnya, sebuah gudang ilmu. Hingga setelah sekian lama, semakin banyak ia menyimpan arsip-arsip ilmu, membuatnya tidak mendapat tempat yang cukup untuknya sendiri berisitirahat dalam rumahnya.

Komentar

Postingan Populer